bila waktu
Kadang aku terkulai begitu
lemas di jalan bebatuan. Bersandar pada batu yang sudah berlumut, terlihat
jelas bekas cakaran burung hantu di antara jeruji-jeruji tembok yang begitu
angkuh. Aku terus merangkak menembus malam yang makin mencekik diriku dengan kekosongan
di antara lemahnya tubuhku. Aku terus bergentayangan, seperti ruh yang
melayang-melayang di dalam jiwa si penakut. Darahku mulai membeku membayangkan
sejuta khayal indah bersamamu, tulangku mengigil bersenggolan dengan nasib
hitam sang penakluk malam. aku tak takut pedang, aku tak takut kematian, aku
tak pernah tunduk kepada sang nasib. Mataku mulai sayu dengan semilirnya angin
subuh di antara leherku yang rentan. Aku sadar, aku bukan nabi kekasih tuhan.
Aku sadar diriku bukanlah seorang dari malaikat yang kalian percayai. Namun aku
terus mengayuh kehidupan dengan sisa-sisa kepercayaanku di sanubari. Mengapa
tuhan tak ambil saja nyawaku, mengapa tuhan terus memberiku jalan agar terus
bernapas, mengapa tuhan tak mengirim izrail-nya kepadaku. Wahai panglima
kehidupan, wahai engkau si penakluk semesta! Tolong kau hentikan penindasan
terhadap jiwaku yang lemah, tolong kau lepaskan belenggu- belenggu yang melilit
sekujur tubuhku, tolong jangan kau perkosa aku dengan nasihat berdarah. Aku
ingin terbang diantara mendung, aku ingin terbang menembus awan, aku ingin
lebih dekat lagi pelangi, aku ingin mencium aroma cakrawala. Bibirku kering,
hidungku berdarah, mataku hitam, pipiku menciut, dan wajahku memucat. Aku
terlalu letih untuk terbang lebih tinggi, sayapku mulai tercabik oleh
kebohongan. Ya, darah itu mengalir. Darah itu terus mengalir dari kulitku yang
bersisik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar