Kamis, 07 Maret 2013

bila waktu



Kadang aku terkulai begitu lemas di jalan bebatuan. Bersandar pada batu yang sudah berlumut, terlihat jelas bekas cakaran burung hantu di antara jeruji-jeruji tembok yang begitu angkuh. Aku terus merangkak menembus malam yang makin mencekik diriku dengan kekosongan di antara lemahnya tubuhku. Aku terus bergentayangan, seperti ruh yang melayang-melayang di dalam jiwa si penakut. Darahku mulai membeku membayangkan sejuta khayal indah bersamamu, tulangku mengigil bersenggolan dengan nasib hitam sang penakluk malam. aku tak takut pedang, aku tak takut kematian, aku tak pernah tunduk kepada sang nasib. Mataku mulai sayu dengan semilirnya angin subuh di antara leherku yang rentan. Aku sadar, aku bukan nabi kekasih tuhan. Aku sadar diriku bukanlah seorang dari malaikat yang kalian percayai. Namun aku terus mengayuh kehidupan dengan sisa-sisa kepercayaanku di sanubari. Mengapa tuhan tak ambil saja nyawaku, mengapa tuhan terus memberiku jalan agar terus bernapas, mengapa tuhan tak mengirim izrail-nya kepadaku. Wahai panglima kehidupan, wahai engkau si penakluk semesta! Tolong kau hentikan penindasan terhadap jiwaku yang lemah, tolong kau lepaskan belenggu- belenggu yang melilit sekujur tubuhku, tolong jangan kau perkosa aku dengan nasihat berdarah. Aku ingin terbang diantara mendung, aku ingin terbang menembus awan, aku ingin lebih dekat lagi pelangi, aku ingin mencium aroma cakrawala. Bibirku kering, hidungku berdarah, mataku hitam, pipiku menciut, dan wajahku memucat. Aku terlalu letih untuk terbang lebih tinggi, sayapku mulai tercabik oleh kebohongan. Ya, darah itu mengalir. Darah itu terus mengalir dari kulitku yang bersisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar