Aku bukanlah seorang penulis cerpen, bukan pula seorang yang
berusaha menjadi sastrawan yang ingin di kenang. Aku hanya menulis semua dari
segala sesuatu yang seperti mengalir kencang dalam hatiku. Aku menulis bukan
untuk menjadi pribadi yang mengagumkan, tulisanku juga bukanlah sebuah pelarian
dari kehidupan. Tulisan-tulisan ini adalah bentuk lain dari teriakanku,
tulisan-tulisan ini adalah bentuk lain dari lidahku yang kelu. Rangkaian kata-kata
ini seperti nyanyian sunyiku, nyanyian yang akan kumandangkan di waktu yang
tepat,saat fajar tak lagi bersinar terang seperti apa yang telah di
janjikannya.
Aku hanya anak manusia yang berjalan menelusuri rentan waktu
yang panjang. Tak ada sesuatu yang menggoda, tak ada sesuatu yang spesial untuk
di bentangkan. Pikiranku kaku, seperti perubahan jaman. Tak ada jaminan sesuatu
akan lebih baik saat semuanya berubah menjadi lunak. Aku lebih banyak bertanya
dalam hati, berharap akan ada bayangan yang membisikkan jawaban mutlak. Sejatinya
insan lemah ini hanyalah pengagum karya-karya tuhan, karena DIA lah semua ada. Aku
pernah bermimpi untuk mengukir sebuah kiasan klasik yang akan terpampang jelas
pada dinding pemberontakan. Aku lebih menikmati pengamatan ku dari kejauhan,
karena dengan kejauhan aku melihat bayangan dari sebuah obyek yang ada di
hadapanku. Aku manusia dan mereka juga, aku di lahirkan sama seperti mereka yang
mencintai modernisasi jaman. Mereka-mereka yang mencintai revolusi ketimbang
evolusi, mereka yang mencintai merah ketimbang hijau, mereka yang mencintai
kekerasan ketimbang kelembutan, dan dari sisi dunia kedua aku mengilhami semua
perbedaan itu.
Saat setibanya aku di singgasana peradaban, aku menemukan
sesuatu yang menggelitik pikiran jiwa muda ini. Ada titik-titik halus yang
terus menyapa ku siang dan malam, ada kecemasan yang kuat di dalamnya, ada rasa
keingintahuan yang luar biasa yang mungkin membalikkan hitam menjadi putih. Tak
ada logika yang cukup memberitahukan kita soal benar dan salah, tak ada fakta
yang cukup menggoda untuk di jadikan alasan kebodohan ini, ya aku sedang jatuh
cinta. Sebuah fenomena yang menodai ranjang malam tepat saat pembaringan begitu
berarti. Cinta, sebuah kisah klasik dari jaman-jaman yang telah lalu, mengukir
sejuta makna di dada setiap insan, membentuk penaklukan besar bersejarah,
membuat lembah-lembah ironisme yang membahana, menumpahkan bnyak air mata
begitu juga tinta bagi sang penyair besar, menciptakan jutaan kisah dari hiruk
pikuk dunia yang teraniaya oleh perbedaan keyakinan. Cinta, mereka disatukan
oleh reruntuhan ideology-ideologi kuno, reruntuhan peradaban yang sangat kacau,
dari puing-puing bangunan tua di mesir hingga gedung-gedung raksasa di amerika.
Cinta, darinya lah aku belajar iktikad baik, darinya lah aku melihat cela kecil
yang menggunting separuh hidupku, karenanya lah aku membakar lilin kecil di
sudut-sudut kesunyian, oleh nya aku membiarkan lagu-lagu pujian berlalu tanpa
bekas. Cinta, menyerukan kebahagiaan, kepedihan, air mata, doa, harapan,
kekalahan, kegilaan dan semuanya bermuara pada gagasan kuno yaitu penyatuan dua
jiwa yang berbeda. Mereka di lahirkan untuk jodohnya, mereka di tiupkan ruh
suci yang akan berakhir pada altar suci pula.
Kita akan mengambilnya dengan gelas madu, yang ukirannya
sendiri tumbuh dari hati terdalam. Kita akan menyingkirkan pedang panjang yang
matanya saja bisa membunuh setiap insan dari kejauhan. Kaki kita tenggelam
dalam janji-janji yang terpahat rumit dalam sebuah puisi-puisi cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar