Kamis, 07 Maret 2013

the actual weapon



Aku bukanlah seorang penulis cerpen, bukan pula seorang yang berusaha menjadi sastrawan yang ingin di kenang. Aku hanya menulis semua dari segala sesuatu yang seperti mengalir kencang dalam hatiku. Aku menulis bukan untuk menjadi pribadi yang mengagumkan, tulisanku juga bukanlah sebuah pelarian dari kehidupan. Tulisan-tulisan ini adalah bentuk lain dari teriakanku, tulisan-tulisan ini adalah bentuk lain dari lidahku yang kelu. Rangkaian kata-kata ini seperti nyanyian sunyiku, nyanyian yang akan kumandangkan di waktu yang tepat,saat fajar tak lagi bersinar terang seperti apa yang telah di janjikannya.
Aku hanya anak manusia yang berjalan menelusuri rentan waktu yang panjang. Tak ada sesuatu yang menggoda, tak ada sesuatu yang spesial untuk di bentangkan. Pikiranku kaku, seperti perubahan jaman. Tak ada jaminan sesuatu akan lebih baik saat semuanya berubah menjadi lunak. Aku lebih banyak bertanya dalam hati, berharap akan ada bayangan yang membisikkan jawaban mutlak. Sejatinya insan lemah ini hanyalah pengagum karya-karya tuhan, karena DIA lah semua ada. Aku pernah bermimpi untuk mengukir sebuah kiasan klasik yang akan terpampang jelas pada dinding pemberontakan. Aku lebih menikmati pengamatan ku dari kejauhan, karena dengan kejauhan aku melihat bayangan dari sebuah obyek yang ada di hadapanku. Aku manusia dan mereka juga, aku di lahirkan sama seperti mereka yang mencintai modernisasi jaman. Mereka-mereka yang mencintai revolusi ketimbang evolusi, mereka yang mencintai merah ketimbang hijau, mereka yang mencintai kekerasan ketimbang kelembutan, dan dari sisi dunia kedua aku mengilhami semua perbedaan itu.
Saat setibanya aku di singgasana peradaban, aku menemukan sesuatu yang menggelitik pikiran jiwa muda ini. Ada titik-titik halus yang terus menyapa ku siang dan malam, ada kecemasan yang kuat di dalamnya, ada rasa keingintahuan yang luar biasa yang mungkin membalikkan hitam menjadi putih. Tak ada logika yang cukup memberitahukan kita soal benar dan salah, tak ada fakta yang cukup menggoda untuk di jadikan alasan kebodohan ini, ya aku sedang jatuh cinta. Sebuah fenomena yang menodai ranjang malam tepat saat pembaringan begitu berarti. Cinta, sebuah kisah klasik dari jaman-jaman yang telah lalu, mengukir sejuta makna di dada setiap insan, membentuk penaklukan besar bersejarah, membuat lembah-lembah ironisme yang membahana, menumpahkan bnyak air mata begitu juga tinta bagi sang penyair besar, menciptakan jutaan kisah dari hiruk pikuk dunia yang teraniaya oleh perbedaan keyakinan. Cinta, mereka disatukan oleh reruntuhan ideology-ideologi kuno, reruntuhan peradaban yang sangat kacau, dari puing-puing bangunan tua di mesir hingga gedung-gedung raksasa di amerika. Cinta, darinya lah aku belajar iktikad baik, darinya lah aku melihat cela kecil yang menggunting separuh hidupku, karenanya lah aku membakar lilin kecil di sudut-sudut kesunyian, oleh nya aku membiarkan lagu-lagu pujian berlalu tanpa bekas. Cinta, menyerukan kebahagiaan, kepedihan, air mata, doa, harapan, kekalahan, kegilaan dan semuanya bermuara pada gagasan kuno yaitu penyatuan dua jiwa yang berbeda. Mereka di lahirkan untuk jodohnya, mereka di tiupkan ruh suci yang akan berakhir pada altar suci pula.
Kita akan mengambilnya dengan gelas madu, yang ukirannya sendiri tumbuh dari hati terdalam. Kita akan menyingkirkan pedang panjang yang matanya saja bisa membunuh setiap insan dari kejauhan. Kaki kita tenggelam dalam janji-janji yang terpahat rumit dalam sebuah puisi-puisi cinta.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar